Jumat, 25 Maret 2011

SAPTA ETIKA AHLI HISAP


"Jika Anda mengira MEROKOK itu adalah Hak Azasi Anda sebagai Manusia (HAM), maka Anda tentu tidak akan merokok dengan MELANGGAR HAM orang lain", Silmi Nathar.
 
Sejak ditemukannya tembakau oleh Ch.Colombus dkk, merokok telah menjadi sebuah aktivitas pribadi yang kontroversial. Walaupun kini khalayak mulai jenuh memperdebatkan, tapi di negeri kita, aktivitas merokok masih menjadi problem dilematis.  Sudah jadi pengetahuan umum bahwa dalam bidang kesehatan misalnya, merokok dipastikan sebagai salah satu faktor predisposisi utama pada penyakit jantung-paru kronis, dan tidak ada bantahan tentang hal ini. Dalam bidang manajemen resiko, api rokok dipastikan sebagai salah satu sumber bahaya kebakaran dan dapat menjadi pemicu utama dalam peristiwa kebakaran. Sebenarnya hal ini juga sudah dimaklumi oleh kalangan perokok, sehingga “kegiatan merokok” dan “lingkungan perokok” seharusnya disosialisasikan sebagai faktor berbahaya (unsafe factor) yang harus dihindari. Bukan hanya oleh anak-anak, ibu hamil atau oleh orang yang sedang terganggu fungsi pernapasannya, tetapi juga oleh orang dewasa sehat dan tidak merokok sekalipun, karena dampak negatif asap rokok konon lebih mudah menghinggapi orang-orang yang tidak merokok tetapi senantiasa berada di lingkungan perokok (baca: perokok pasif).

Di sisi lain, budaya merokok yang masih melekat pada sebagian besar masyarakat justru dilihat sebagai hal yang sangat menguntungkan negara, karena industri rokok masih menjadi sektor utama penyumbang devisa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena ini menjadi penyebab utama sehingga pemerintah Indonesia belum mampu berslogan “SAY NO TO CIGARETTE”.  Demikian juga dalam setiap event pesta demokrasi PEMILU, belum ada satu kandidat pun yang berani menyuarakan slogan anti rokok dalam berkampanye.

Masih berhubungan dengan industri rokok sebagai penyumbang devisa negara yang utama, beberapa kalangan 'ahli hisap' lalu mengkampanyekan bahwa merokok justru adalah sebuah sikap nasionalisme.  Tak pelak lagi, komunitas perokok di negeri kita masih kita temukan di mana-mana. Masih dapat kita saksikan pula dalam kalangan masyarakat miskin dimana sekalipun kesulitan menafkahi keluarga, mereka tetap tega mengkonsumsi rokok hingga beberapa bungkus per hari.

Dilema ini tentu saja masih akan terus kita rasakan.

Pemerintah Indonesia konon sebenarnya tidak berpangku tangan. Mereka telah berupaya menaikkan beban pajak pada setiap bungkus rokok yang ada, agar rokok menjadi barang langka yang hanya dijangkau oleh yang berkantong tebal, demikian dalih mereka. Mereka juga telah mengingatkan masyarakat akan bahaya merokok melalui label pada setiap kemasan rokok.  Kita ketahui juga, perda rokok sudah diterbitkan oleh beberapa pemda. Di dalam perda, diatur pembatasan ruang lingkup aktivitas perokok dengan tetap menyediakan fasilitas bagi penikmat rokok yang aman dari bahaya kebakaran dan aman bagi kesehatan orang lain. Apakah itu cukup? Tentu saja tidak.   

Kita mesti lebih banyak mengajak lagi. Ajakan ini perlu dilakukan dengan cara yang lebih sabar, arif, persuasif dan edukatif.  Ajakan lebih diarahkan kepada tujuan agar perokok bisa lambat laun percaya dan peduli bahwa aktifitasnya dapat mendatangkan mudarat (baca: bencana) yang lebih besar dibandingkan manfaatnya (jika dianggap ada).

Upaya ini sebenarnya patut didukung oleh banyak kalangan, karena bagaimanapun setiap kegiatan yang bertujuan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan di kalangan masyarakat adalah menjadi tanggung jawab bersama, dan tergolong sebagai gerakan berkelanjutan (sustainable act).
Jadi,  program meningkatkan awareness (kesadaran) untuk tidak merokok mari lebih kita arahkan kepada upaya meningkatkan etika merokok bagi para penikmat rokok di seantero bumi ini. (Matra, medio 2009)

Kamis, 24 Maret 2011

MEMBIASAKAN DIRI MEMAKAI HELM ADALAH TANDA BUKTI KESYUKURAN


Jadilah manusia yang pandai bersyukur. Demikian sudah sangat sering kita dengarkan nasehat tentang pentingnya kita BERSYUKUR atas  segala nikmat yang telah Tuhan berikan. Bahkan dalam ajaran agama Islam dinyatakan bahwa bagi yang bersyukur Allah SWT akan semakin menambah nikmatNya, sementara bagi yang KUFUR (tidak bersyukur) justru kelak mendapat Azab yang pedih.
Namun demikian pasti kita sadari juga, banyak hal-hal yang menjadi kebiasaan  dalam hidup sehari-hari yang masih menjauhkan diri kita dari SIKAP dan SIFAT bersyukur.  Salah satu contohnya adalah kebiasaan mengendarai sepeda motor tanpa memakai HELM.
Memang, bersyukur tidaklah cukup hanya dengan mengucapkannya dalam hati atau sebatas di bibir saja. Perlu tindak laku yang membuktikan bahwa kita betul-betul telah bersyukur akan suatu nikmat dalam arti yang sesungguhnya. Bersyukur karena telah mampu membeli sepeda motor misalnya. Tidak cukup hanya dengan bercerita kepada orang lain tentang betapa besar rasa syukur kita karena telah mampu membeli sepeda motor, sedangkan masih banyak orang lain yang hanya berjalan kaki atau baru mampu membeli sepeda. Tetapi  kesyukuran itu perlu dibuktikan dengan perilaku yang berhubungan dan berpengaruh nyata (significant), seperti: dalam bentuk sikap merawat dengan baik sepeda motor, atau tidak membiarkan sepeda motor dipakai oleh orang yang belum berhak (termasuk anak sendiri yang masih di bawah umur).  Lebih jauh lagi, bersyukur juga dapat dibuktikan dengan menjaga agar nikmat yang Tuhan berikan tidak menjadi  sesuatu yang dapat mendatangkan malapetaka atau keburukan (mudharat). Bukankah membiarkan sepeda motor dikendarai oleh anak yang di bawah umur dan atau memakai sepeda motor itu tanpa menggunakan helm standart akan dapat mendatangkan marabahaya kecelakaan?
HELM adalah sebuah alat yang dibuat sedemikian rupa dengan tujuan utama melindungi kepala dari akibat benturan yang berbahaya. KEPALA adalah bagian tubuh manusia yang utama.  Di dalam kepala terdapat otak yang merupakan pusat sistem saraf dan kesadaran manusia.  OTAK  menyimpan berjuta-juta rekaman (memori) tentang kehidupan yang berharga dari seseorang. Otak pula yang mengatur segala sistem kerja bagian tubuh lainnya. Di dalam otak terdapat dua sistem utama pengendalian manusia, yakni  pengendali alam SADAR dan pengendali alam BAWAH SADAR.   Bila kendali alam sadar manusia yang terganggu, maka  hubungannya dengan manusia lain menjadi ikut terganggu. Bila kendali  alam bawah sadar manusia yang terganggu, maka  fungsi anggota tubuhnya  yang berhubungan dengan pusat kendali itu juga akan terganggu. 
Sehingga LUAR BIASA,   selain di dalam rongga dada (jantung) INTI UTAMA KEHIDUPAN  manusia itu ternyata terletak di dalam KEPALA. Namun ……… KESELAMATAN  KEPALA ini pulalah yang sering kita ABAIKAN !
Sekali lagi, bersyukur memang tidaklah cukup hanya dengan mengucapkannya dalam hati atau sebatas di bibir saja. Perlu tindak laku yang membuktikan bahwa memang kita bersyukur akan suatu nikmat dalam arti yang sesungguhnya. Nikmat Tuhan berupa HIDUP sebagai manusia yang normal (waras) ternyata terletak di Kepala. Sebagai bukti kesyukuran tentu kita harus SANGAT melindungi kepala.  Lalu mengapa kita sering melupakan dan lebih senang menggunakan sepeda motor tanpa memakai helm?
Mari kita mulai perhatikan, apa saja sih sebenarnya  alasan yang membuat kita sering ogah, enggan, atau malas pakai helm? Sudah pernahkah kita hitung-hitung UNTUNG RUGI nya? Jangan-jangan semua alasan yang kita kemukakan itu sebenarnya justru TIDAK PENTING.
Berikut ini beberapa di antara 1001 alasan yang sering kita kemukakan jika BELUM memakai helm:
1.      “Orang  lain juga tidak pake, kok”.  Kita menggantungkan keselamatan diri kepada orang lain.
2.      “Ah, kan gak ada juga sweeping atau polisi”. Keselamatan kita gantungkan kepada Polisi?
3.      “Cewek gak bisa lihat kegantengan saya”. Cewek  malah akan lari kalau anda celaka kemudian otak dan kewarasan anda terganggu. Pilih mana, kelihatan ganteng atau jadi gak waras?
4.      “Bentar aja, mau kondangan nih, ntar sanggul dan make up berantakan lagi”.  Siapa yang bisa memastikan anda tidak akan celaka dalam hitungan SEBENTAR?
5.      “Helm  kan mahal,”.  Mana lebih mahal dibanding  jika kita mengalami kecelakaan di kepala?
6.       “Panas, dan membuat cepat botak ‘.  Boleh jadi demikian, tapi bandingkan  dengan keuntungannya. Selain melindungi  isi kepala, kita juga lebih terlindung dari debu, panas matahari dan hujan.
7.      “Ah, bikin ribet. Makan Waktu !”.  Memang  sih, kalau belum jadi kebiasaan dan kebutuhan, akan terasa mengganggu dan merepotkan.  Contoh, menginjak rem  atau  nendang starter manual dalam berkendara, apakah merepotkan? Kan tidak, karena menginjak rem dilakukan secara otomatis dan terbiasa (kendali alam bawah sadar), sedangkan nendang starter adalah kebutuhan untuk menghidupkan sepeda motor karena tidak punya starter tangan otomatic (kendali alam sadar).
8.      “Sudah ah, terserah aku. Gitu aja kok repot” ………… untuk alasan ini:  no comment.

Matra, 15 Maret 2011